AL-ITTIHAD
A.
Pendahuluan
Setelah masuk abad ketiga dan keempat, ilmu tasawuf telah
berkembang hingga munculnya faham Al-Ittihad telah menimbulkan sikap dan
pandangan pro kontra di kalangan ulama.
Tulisan ini mengkaji sudut pandang pemahaman dunia
tasawuf sebagai dunia rasa yang sarat dengan pengalaman spiritual yang
seringkali berada diluar jangkauan rasional. Dimana sebelum terjadinya ittihad, seorang sufi telah mengalami fana’ dan baqa’. Dalam kondisi demikian
tentu tidak bisa dipakai ukuran yang bisa digunakan untuk menilai suatu
ekspresi luar biasa yang keluar dari mulut seseorang yang dalam keadaan sadar.
Dan pengalaman sufistik seperti itu sering terungkap kepada khalayak hingga
dipandang sebagai ucapan yang menyesatkan karena secara lahiriah melanggar
prinsip tanzih dalam ajaran Islam.
B.
Pengertian Ittihad dan Pendirinya
Ittihad adalah
tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.
Ittihad merupakan suatu tingkatan dimana yang mencintakan dan yang dicintai telah menjadi satu.
Ittihad berasal
dari kata ittahad-yattahid-ittihad (dari
kata wahid) yang berarti bersatu atau kebersatuan. Sedangkan ittihad menurut
Abu Yazid Al-Busthami secara komprehensif maupun secara etimologis berarti
integrasi, menyatu, atau persatuan. Dan secara
istilah, ittihad merupakan
pengalaman puncak spiritual seorang sufi, ketika ia dekat, bersahabat, cinta,
dan mengenal Allah sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Allah. Ittihad dicapai
dengan beberapa proses (maqamat) dengan tazkiyat
al-nafs hingga melewati mahabbah dan ma‘rifah kemudian
mengalami fana’ dan baqa’ sebagai
pintu gerbang menuju ittihad. Dengan kata lain sebelum mengalami ittihad para
sufi harus mengalami al-fana’
‘an al-nafs dan al-baqa’
bi Allah.
Fana’ secara etimologis berarti keluruhan diri kemanusiaan,
hancur, lenyap dan hilang. Sedangkan baqa’ secara
etimologis berarti kekal, abadi, tetap dan tinggal.
Masalah ittihad, hulul dan Tauhid di kalangan sufi tidak
banyak dibicarakan. Mungkin ini disebabkan dari pembunuhan tokoh sufi yaitu al-Hallaj karena dituduh mempunyai paham “hulul” sehingga
banyak tokoh sufi takut mempersoalkan tersebut, agar tidak mempunyai nasib yang
sama.
Abu Yazid al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid
bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H (813 M) di
Bustam, bagian Timur Laut Persia. Di Bustam ini pula ia meninggal dunia pada tahun
261 H (875 M); dan makamnya masih ada hingga saat ini. [1] Makamnya yang
terletak di tengah kota menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia
dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasiri Khusraw dan Yaqut.
Pada tahun 1313 M. didirikan di atanya sebuah kubah yang
indah oleh seorang Sultan Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya
Syekh Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustam itu [2]
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami disebut
sebagai sufi pertama yang membawa faham ittihad. Abu Yazid adalah seorang tokoh sufi yang terkenal pada abad ketiga
Hijriyah. Kakeknya Surusyan adalah seorang penganut agama Zoroaster, yang
kemudian masuk Islam. Sedikit sekali orang mengetahui tentang sejarah hidupnya.
Jika tidak ada pengarang seperti at-Attar, orang tidak mengenalnya sama sekali,
siapa Abu Yazid itu, beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa anekdot-anekdot
sufi belaka [3].
________
[2] Aboebakar
Atjeh, 1984: 259.
[3] Fariduddin al-Attar,
1979: 101-105.
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama
Islam menurut mazhab Hanafi. Kemudian ia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid
dan hakikat, begitu juga tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang fana’ dari Abu Ali Sindi.
Dia tidak meninggalkan tulisan, tetapi pengikut-pengikutnyalah mengumpulkan
ucapan/ajaran-ajarannya. [4].
Abu Yazid adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya
zahaid itu adalah seoarang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup
berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud
terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam
fase terakhir ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat
apa-apa lagi selain Allah.
Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa
ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya
banyak ditentang oleh ulama Fiqh dan Kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk
penjara. Meskipun demikian, ia memperoleh banyak pengikut yang percaya kepada ajaran
yang dibawanya. Pengikut-pengikutnya menamakannya Taifur. Kata yang
diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam, sehingga jika
ditangkap secara lahir akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan
antara Tuhan dengan manusia.
Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang
sebagai pembawa faham al-fana’ dan al-baqa’ serta sekaligus pencetus faham al-ittihad; dan A.J. Arberry menyebutnya sebagai “first of the ‘intoxicated’
sufis”. (Orang pertama dari kaum sufi yang mabuk kepayang) [5].
C.
AJARAN TASAWUF ABU YAZID
Irfan Abdul Hamid Fattah Mengatakan bahwa dalam sejarah perkembangan
tasawuf, Abu Yazid al-Bustami dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “kesatuan
wujud” atau ittihad [6].
________
[4] Aboebakar Atjeh, 1984: 135-136.
[5] A. J. Arberry, 1979: 54.
[6] Irfan Abdul Hamid Fattah,1973: 169.
Perkembangan ajaran tasawauf ke arah ini digambarkan oleh
Prof. Dr. H. Aboebakar Atheh sebagai berikut :
Lalu sampailah pada abad yang ke-III orang membicarakan latihan
rohani, yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Jika pada akhir abad ke-II
ajaran sufi merupakan kezuhudan (asceticisme), dalam abad ke-III
ini orang sudah meningkat kepada wusul dan ittihad dengan Tuhan (mistikisme). Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap tentang kecintaan, fana
fil mahbub, bersatu dengan kecintaan, ittihad fil mahbub, bertemu dengan Tuhan,
liqa’; dan menjadi satu dengan Dia. ‘ainul jama’ sebagai yang
diucapkan oleh Abu Yazid Bisthami [7].
Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan
Tuhan (al-ittihad), ia harus terlebih dahulu dapat menghancurkan dirinya
melalui fana’. Penghancuran diri (fana’) dalam khazanah sufi
senantiasa diiringi dengan baqa’. Apa yang disebut dengan fana’ dan baqa’ itu?
1.
Al-Fana’ dan Baqa’
Secara lughawi, fana’ berarti hancur, lebur,
musnah, lenyap, hilang atau tiada; dan baqa’ berarti tetap, kekal,
abadi atau hidup terus (lawan dari fana’). Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua
dalam arti bahwa adanya fana’ menunjukkan adanya baqa’.
Dalam istilah R. A. Nicholson dikatakan: “The
complement and consummation of death to self (fana’) is everlasting life in God (baqa’)” [8]. Yakni, “Kelengkapan dan kesempurnaan dari leburnya
pribadi (fana) ialah kehidupan abadi didalam wujud Tuhan (baqa)”. Hal ini memang
dapat dilihat dari faham-faham sufi berikut :
-
Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah
taqwanya.
-
Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, tinggal baginya
sifat-sifat yang baik.
-
Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya sifat-sifat Tuhan.
[9]
________
[7] Aboebakar Atheh, 1984: 169.
[8] R. A. Nicholson, 1973: 214.
[9] Harun Nasution, 1973: 80
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran
diri yaitu al-fana’‘an
al-nafs. Yang dimaksud dengan
al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang
terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.
Al-Qusyairi tentang ini mengatakan : Fananya seseorang
dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang
dirinya dan tentang makhluk lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian
pula makhluk lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya [10].
Dr. Ibrahim Basyuni, setelah mengumpulkan beberapa
definisi pengertian fana’ ini sebagai berikut : Fana, keadaan jiwa yang
menghilangkan hubungan manusia dengan alam dan raganya, bukan menghilangkan
wujud kemanusiaannya [11].
Dalam hal pengertian fana’ ini, di dunia tasawuf,
kata Dr. Ibrahim Madkur berarti : Teori yang pada kesimpulannya menjelaskan
tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya
seorang hamba di dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud
diri-nya dan kekal (tinggal) di dalam wujud Tuhannya setelah melewati
perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa [12].
Dan dalam masalah ini pula, Nicholson mengatakan : To
Pass away from self (fana’) is to realize that
self does not exist, and that nothing exista except God (tauhid)” [13]. “untuk lulus dari diri (fana ') adalah menyadari diri yang tidak ada, dan tidak ada yang ada kecuali Allah (tauhid)”
________
[10] Al-Qusyairi, t.th: 37.
[11] Ibrahim Basyuni, t.th: 239.
[12] Ibrahim Madkur, 1979: 141.
[13] R. A. Nicholson, 1973: 50.
Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf, istilah fana’ kata Nicholson,
memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan
sebagai berikut :
a.
Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian nafsu dan
keinginan.
b.
Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi, pemikiran,
tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian memusatkan fikiran tentang
Tuhan. Yang dimaksud dengan memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi
sifat-sifat-Nya.
c.
Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang tertinggi
akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri juga hilang. Inilah
yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana” atau lenyapnya kesadaran
tentang tiada (fana’
al-fana’) [14].
Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’
adalah lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa, yang
artinya berkesinambungan di dalam Tuhan [15].
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini,
materi manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang
hilang hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi
akan eksistensi jasad kasarnya.
Nicholson mengartikan
faham ini sebagai : “Fana, sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk
ke dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan
pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran)
ini, menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi” [16].
________
[14] R. A. Nicholson, 1975: 60-61.
[15] Nicholson, 1975: 61.
[16] Nicholson, 1973: 149.
Abu Yazid al-Bustami sendiri mengartikan fana sebagai
hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi (al-fana’ ‘an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai
manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan menyatu dengan
wujud-Nya [17].
Lebih jelas lagi faham ini tersimpul dalam kata-katanya :
-
Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu
pada-Nya melalui diri-Nya maka akupun hidup.
Dan katanya pula :
-
Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku
gila pada-Nya, dan akupun hidup, ………..aku berkata : Gila pada diriku adalah
kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup. [18]
Jadi kalau seorang sufi telah mencapai al-fana’ ‘an al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi yaitu kalau
wujud jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang
akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan
Tuhan. Dan kelihatannya persatuan denngan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya
al-fana’ ‘an al-nafs.
2.
Al-Ittihad
Dilihat dari sudut etimologi, ittihad berarti peratuan. Dalam kamus sufisme berarti
persatuan antara manusia dengan Tuhan.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihad kelihatannya ialah
satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi
satu [19].
________
[17] Team Penyusun Naskah, 1981-1982: 72.
[18] Harun Nasution, 1973: 81.
[19] Ibid, hal. 82.
Ittihad dalam ajaran tasawuf
kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam
perjalanan jiwa manusia. Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan
Tuhannya telah menjadi satu, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat
sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak
pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati.
Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan
aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat [20]. Syathathat ialah
kata-kata yang penuh hayal, yang tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum. [21]
Ittihad itu akan tercapai
kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal
lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu
sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam faham ittihad hilangnya kesadaran
adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya
dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah
yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing
away”, al-baqa’
ba’ad al-fana’). Dan hilangnya
kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan
kepada seorang sufi [22].
Kemudian kalau memang fana yang merupakan prasyarat untuk
mencapai ittihad itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang
sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam
ibadah dalam usaha memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas.
Dalam Ittihad, kata A. R. al-Badawi yang dikutip oleh Nasution, yang
dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah
satu dari yang lain.
________
[20] Ibrahim Madkur, 1979: 2.
[21] Hamka, 1993 : 95
[22] Nicholson, 1973: 218.
Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka
dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara sufi dengan Tuhan [23].
Faham ittihad ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrîd fana’ fî al-tauhîd, [24]. Yaitu perpaduan
dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Uangkapan Abu Yazid tentang
peristiwa mi’rajnya berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan
:
“Pada suatu ketika aku
dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat
engkau, Aku Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika
itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang kehendak-Mu.
Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat daku, mereka
akan berkata : Telah kami lihat Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak
ada di sana” [25].
Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi
proses terjadinya ittihad. Dalam bagian awal ungkapan itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada sangat
dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihad. Ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya :
Tuhan berkata : semua
mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah Engkau,
Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau [26].
Selanjutnya Abu Yazid
berkata :
“Sesungguhnya aku ini
adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku” [27].
Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu
seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya. Abu
Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid
sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan
diri Tuhan.
________
[23] Harun Nasution, 1973: 82-83.
[24] Aboebakar Atheh,
1984: 136.
[25] Abdul Qadir Mahmud, t.th: 313.
[26] Harun Nasution, 1973: 85.
[27] Harun Nasution, 1973: 86.
Dengan kata lain Abu Yazid dalam ittihād berbicara dengan nama
Tuhan. Atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam
hal ini Abu Yazid menjelaskan : “Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku
sedang aku sendiri dalam keadaan fana” [28].
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku
dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai
kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihad.
D.
TINJAUAN PEMIKIRAN ITTIHAD
Seperti dikemukan diatas, semenjak masanya Abu Yazid
pendapat sufi condong kepada kepada konsepsi “kesatuan wujud”. Faham ini muncul
sebagai konsepsi lanjut dari pendapat sufi bahwa dunia fenomena ini hanyalah
bayangan dari “realita” yang sesungguhnya, yaitu Tuhan satu-satunya wujud yang
hakiki hanyalah wujud Tuhan, sesuatu yang menjadi dasar bagi adanya segala
sesuatu yang ada. Dunia hanyalah bayangan dan khayal, wujudnya tergantung pada
wujud Tuhan.
Atas dasar pemikiran tentang Tuhan yang demikian itu,
mereka berpendapat, bahwa alam ini termasuk manusia merupakan refleksi dari hakikat
Ilahi. Dalam diri manusia terdapat unsur ketuhanan karena ia merupakan pancaran
Nur Ilahi, seperti pancaran cahaya matahari. Oleh karena itu, jiwa manusia
selalu bergerak berusaha untuk bersatu kembali dengan sumber asalnya.
Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan
Tuhan dapat bersatu dengan Tuhan dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu
melebur eksistensi keberadaannya sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak
menyadari pribadinya, fana’ ‘an
al-nafs [29].
________
[28] Abdul Qadir Mahmud, t.th: 310.
[29] Team Penyusun Naskah,
1981/1982: 160.
Dengan istilah lain, barang siapa yang mampu menghapuskan
kesadaran pribadinya dan mampu membebaskan diri dari alam sekelilingnya, ia
akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan memperoleh jalan
kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan yang Tunggal, yang
dilihat dan dirasakannya hanya satu. Keadaan seperti inilah yang disebut ittihad, yang oleh Abu Yazid disebut
tajrid fana’ fi al-tauhid.
Nampaknya kontroversi sekitar faham fana’, baqa’ dan ittihād dalam tasawuf terus
berkembang hingga sekarang. Masalahnya apakah ia berasal dari ajaran Islam atau
import dari luar? Ibrahim Madkur melihat bahwa faham ittihad ini adalah sesuatu
yang paling rumit di dalam tasawuf Islam, sehingga para pengamat tasawuf dalam
menilainya bisa dibagi menjadi dua kelompok: ada yang menerimanya tetapi juga
ada yang menolaknya. [30].
Selanjutnya Madkur dengan tegas mengatakan bahwa faham ittihad ini sebenarnya tidak
bersumber dari Islam. Katanya, Al-Qur’an dengan ungkapan yang tegas, secara
mutlak, tidak memberi tempat pada adanya faham ittihad.
Hanya saja, para pendukungnya tidak kehilangan akal untuk
melandasinya dengan ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi [31]. Penilaian serupa
juga dikemukakan oleh Aboebakar Atjeh, dengan nada yang agak moderat, beliau
mengatakan : Sebenarnya tidak ada sesuatu petunjuk pun dalam Al-Qur’an yang dengan
tegas-tegas menerangkan ada ittihad itu. Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menerangkan keadaan
akrabnya Tuhan dengan hamba-Nya, seperti ayat : “Kami lebih dekat padanya
dari pada kedua urat leharnya” (Qur’an L : 16). ayat : “Ia (Tuhan) selalu
bersama kamu, dimanapun kamu berada” (Qur’an), ……. [32].
________
[30] Ibrahim Madkur, 1976: 65.
[31] Ibrahim Madkur, 1976: 65.
[32] Aboebakar Atjeh, 1984: 137.
Selanjutnya ada sebuah hadis qudsi yang berbunyi : Mutaqqarribun
itu tidaklah dapat mendekati Aku dengan hanya menunaikan segala ibadah yang
perlu, yang sudah diwajibkan kepadanya, tetapi seorang hamba-Ku yang senantiasa
mengerjakan segala ibadat-ibadat sunnat, dapatlah mendekati Daku, sehinga ia mencintai
Daku dan Aku mencintai dia, maka pendengaran-Ku menjadi pendengarannya dan
penglihatan-Ku menjadi matanya untuk melihatnya. [33].
Ada pendapat yang mengatakan bahwa faham fana’ dalam tasawuf Islam
ini berasal dari ajaran Buddhaisme tentang faham nirwana, karena faham nirwana
dalam ajaran Buddhaisme ini hampir serupa dengan faham fana’ dalam tasawuf. Untuk
mencapai nirwana orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi.
Dikatakan, ajaran-ajaran non Islam seperti ajaran
Buddhaisme ini, masuk ke dalam ajaran Islam seperti dalam tasawuf, adalah
akibat logis dari perluasan daerah kekuasaan Islam, pertemuan berbagai suku
bangsa, kebudayaan, agama dan kepercayaan di dalam satu wadah pergaulan pemerintahan
Islam pasti akan saling mempengaruhi antara yang satu dengan lainnya.
Dalam persoalan ini Nicholson mengatakan bahwa konsepsi
sufi tentang kefanaan diri adalah dapat dipastikan berasal dari India. Penganjurannya
seorang ahli mistik Persi, Bayazid dari Bistam mungkin telah menerima dari
gurunya, Abu Ali dari Sind (India). Tambahan lagi bahwa dalam sejarah, selama
ribuan tahun sebelum kemenangan umat Islam Buddhisme pernah memiliki akar yang
kuat di kawasan timur Persia dan Bactria, sehingga oleh karenanya hampir dapat
dipastikan adanya pengaruh terhadap perkembangan ajaran tasawuf di daerah
tersebut [34].
________
[33] Aboebakar Atjeh, 1984: 137.
[34] (Nicholson,
1975: 17-18, Saiyid Athar Abbas Rizvi, 1978: 44-45).
Demikian pendapat yang mengatakan bahwa faham fana’, baqa’ dan ittihad ini berasal dari luar
Islam (Buddhisme). Namun keterangan-keterangan yang ada belum memberikan
kepastian dalam keputusan kepada kita, karena analisis yang diberikan hanya
berupa pemikiran-pemikiran belaka. Terlepas dari maksud untuk menerima atau
menolaknya, faham ini dapat saja lahir dari ajaran Islam sendiri, baik dari Al-Qur’an
ataupun Hadis. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-Rahman :
@ä. ô`tB $pkön=tæ 5b$sù ÇËÏÈ 4s+ö7tur çmô_ur y7În/u rè È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ
“Semua yang ada di bumi ini akan
binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman, 55 : 26-27)
Dan sabda Rasulullah saw. :
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian
Aku ingin dikenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku merekapun kenal
pada-Ku” [35].
Memang seperti dikatakan oleh mereka yang menolak faham
yang dibawa oleh Abu Yazid ini, bahwa ayat atau hadis digunakan sering diselewengkan
maksudnya.
Tetapi kita mungkin bisa bertanya setelah kita melihat
penjelasan kaum sufi, apakah mereka yang menolak faham ini tidak memaksakan
pendapatnya dalam melihat dan menafsirkan ayat atau hadis yang digunakan kaum
sufi, karena ayat atau hadis tersebut dapat mengandung lebih dari satu arti.
Kita mengenal biasanya orang sufi mengambil arti batin, arti yang tersirat;
sementara orang lain mengambil arti lahir, arti yang tersurat. Mereka menilai
tasawuf dengan norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku di kalangan mereka,
sehingga berkesimpulan bahwa ajaran tasawuf tersebut bertentangan dengan Islam
atau tidak bersumber dari ajaran Islam.
________
[35] Harun Nasution, 1973: 61.
Alasan lain dari mereka yang menolak adanya faham ittihad adalah tidak mungkin
terjadi persatuan antara dua subtansi (zat), antara manusia dengan Tuhan.
Dengan tegas Muhammad al-Sadiq Arjun mengatakan :
…….., Demikian juga ittihad, nampak sekali salahnya, karena perkataan seseorang bahwa seorang hamba
dapat menjadi Tuhan adalah perkataan yang paradoks dalam wujudnya, Padahal seyogyanya
dia mensucikan diri dari segala perkataan yang mustahil-mustahil ini. Kita
dapat berkata dengan tegas (mutlak) bahwa perkataan seseorang, sesuatu dapat
menjadi sesuatu yang lain adalah mutlak mustahilnya [36].
Jika kita kembali kepada pengertian ittihad yang dimaksud dengan ittihad itu bukanlah berpadunya
dua subtansi menjadi satu, tetapi hilangnya kesadaran seorang sufi akan wujud dirinya
dan yang tinggal dalam kesadarannya hanya wujud Tuhan. Dalam ungkapan sufi,
tidak ubahnya seperti hilangnya maksiat dan sifat-sifat buruk. Dengan hancurnya
hal-hal ini, maka yang tinggal ialah taqwa dan kelakuan baik.
Dengan melihat uraian di atas, penolakan terhadap adanya
faham ittihad dalam tasawuf belum memberikan alasan yang meyakinkan.
Ada dua hal yang mempengaruhi sebagian para pengamat
ajaran tasawuf, khususnya faham ittihad selama ini :
1.
Mereka melihat dan menilai tasawuf dengan kacamata yang cocok untuk
dirinya, maksudnya menilai tasawuf menurut norma-norma yang mereka yakini.
3.
Mereka menggunakan batasan ittihad menurut persepsinya.
E.
Pengaruh Ittihad dalam Dunia Sufi
Intisari dari mistisisme, termasuk didalamnya tasawuf,
ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan
Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat
dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad [37].
________
[36] Muhammad al-Sadiq Arjun,1967: 118.
[37]
Harun Nasution, 1973: 56.
Menurut Ibrahim Basyuni, tasawuf adalah kesadaran sejatinya
manusia yang mengarahkan jiwa yang benar untuk selalu berjuang hingga ia dapat merasakan
perjumpaan dengan wujud mutlak (Allah) [38].
Pengalaman kejiwaan seperti ini dalam dunia tasawuf
disebut fana’. Terjadinya kondisi fana’ kerena begitu mendalamnya
rasacinta yang termanifestasi dalam aktivitas sufi sehari-hari. Dalam mabuk
cinta itu, sang sufi akan mengalami penghayatan wahdat al-syuhud, apa saja yang dipandang tampak sebagai Tuhan. Al-Syibli,
misalnya, pernah menyatakan : “Aku tak pernah melihat sesuatu kecuali Tuhan” [39].
Aktivitas yang mutlak dilakukan sang sufi adalah zikir.
Melalui konsentrasi dalam zikir, yang oleh sufi disebut dengan menenggelamkan hati
dalam zikir kepada Allah, akan menghantarkannya pada pengalaman dan penghayatan
fana’ secara total pada Allah. Fana’ adalah proses beralihnya
kesadaran dari alam inderawi atau alam lahir kealam kejiwaan atau alam batin.
Oleh kerena itu kondisi fana’ merupakan bagian yang esensial dalam tasawuf.
Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad atau menyatu dengan
wujud Allah digambarkan sebagai berikut : Pada awal mulanya lenyap kesadaran
akan diri dan sifat-sifat peribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat
Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah
lantaran telah memulai menyaksikan keindahan wajah Allah; lalu lenyapnya kesadaran
akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan
penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan
keindahan wajah Allah; kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefanaannya itu
sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah. [40].
________
[38] Ibrahim Basyuni, t.th: 28.
[39] Simuh, 1997: 104.
[40] Ibid, hal. 106.
Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya ittihad seorang sufi harus
melalui tiga tahapan.
Pertama, lenyapnya kesadaran akan alam sekelilingnya
lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam penghayatan gaib
yang dalam tasawuf dinamakan kasyf.
Pada tingkat kedua mulai menyaksikan langsung apa yang
mereka yakini sebagai zat al-Haqq (Tuhan). Itulah penghayatan ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’.
Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah
adalah fana’ alfana’,
yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan
dirinya lantaran telah terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya. Salah
satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam kitab-kitab tasawuf adalah
firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai berikut :
$¬Hs>sù ôMyèÏJy £`ÏdÌõ3yJÎ/ ôMn=yör& £`Íkös9Î) ôNytGôãr&ur £`çlm; $\«s3GãB ôMs?#uäur ¨@ä. ;oyÏnºur £`åk÷]ÏiB $YZÅj3Å ÏMs9$s%ur ólã÷z$# £`Íkön=tã ( $¬Hs>sù ÿ¼çmuZ÷r&u ¼çmtR÷y9ø.r& z`÷è©Üs%ur £`åkuÏ÷r& z`ù=è%ur |·»ym ¬! $tB #x»yd #·|³o0 ÷bÎ) !#x»yd wÎ) Ô7n=tB ÒOÌx. ÇÌÊÈ
“Maka tatkala
wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita
itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada
masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), Kemudian dia Berkata
(kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka
tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya,
dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha Sempurna Allah, Ini
bukanlah manusia. Sesungguhnya Ini tidak lain hanyalah malaikat yang
mulia." (Qs. Yusuf,12 : 31).
Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata :
Ini baru ketuhanan seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk lain, sudah
fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati terbukanya
tabir lalu menyaksikan keindahan wajah Ilahi.
Jadi tidak mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan
dirinya dan akan makhluk sejenisnya [41]. Hanya dengan melihat wajah
Nabi Yusuf yang ganteng mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari mereka
dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona melihat
keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan katakata.
Untuk memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan
di atas patut diperhatikan pernyatakan William James dalam bukunya The Varieties of Religion Experience. Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman mistis; dan
dengan cara menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan mampu menghindari dari
perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan.
1.
Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan bahwa pengalaman itu tidak bisa
diungkapkan; tidak ada uraian manapun yang memadai untuk bisa mengisahkannya
dalam katakata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus dialami secara langsung
dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang lain.
2.
Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip
dengan situasi perasaan, bagi orang yang mengalami situasi mistis ini juga
adalah situasi berpengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan tentang
kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek yang bersifat
diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dan pewahyuan yang penuh
dengan makna dan arti yang hanya bisa dirasakan.
3.
Situasi transien. Keadaan mistik tidak
bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada
kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi; batas-batas yang bisa dialami
seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah jam,
atau paling lama satu atau dua jam.
________
[41] (Al-Qusyairi, t.th.: 68).
4.
Kefasifan. Datangnya situasi
mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang dilakukan
secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu,
atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang ada pada situasi ini muncul,
sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang dan ia merasa
direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi [42].
Dengan mengikuti keterangan jaman diatas , maka situasi ittihad Abu Yazid harus
dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang sufi. Sebagai pengalaman
kejiwaan yang berdeminsi spiritual tentu sangat bersifat personal dan unik. Hal
ini dapat dilihat dari ciri-ciri: Sangat sulit, bahkan mustahil di ungkapkan
dengan kata-kata; menimbulkan pencerahan dan kesadaran adanya Yang Maha Kuasa
yang menguasai ruang dan waktu, hanya terjadi dalam waktu singkat, dan
berlakunya kepasifan total yang diawali dengan perasaan tertentu yang meredakan
segala hasrat dan diakhiri dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar
biasa.
________
[42] William
James, 2004: 506-508.
F.
Kesimpulan
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al- Bustani
dipandang sebagai pencetus fana’, baqa’ dan ittihad. Keduanya merupakan kembar dua dalam pencapaian ittihad. Dengan kata lain, ittihad itu baru tercapai
setelah melewati fana dan baqa.
Fana’ yang dimaksudkan
disini ialah hilangnya kesadaran akan ujud dirinya dan ujud alam sekelilingnya
hingga ia (sufi) tidak tahu bahwa dirinya dalam keadaan fana’. Karena seluruh
aktivitas dan kesadarannya terkonsentrasi pada Allah, maka ia larut dalam
kesadaran Allah dan akhirnya pada saat itu yang ada dalam perasaannya hanyalah Allah.
Dalam keadaan demikian ia merasa dirinya telah bersatu dengan Allah (ittihad). Ittihad sebagai pengalaman
sufistik haruslah dikaji dalam konteks kejiwaan, ia memiliki beberapa ciri yang
harus diperhatikan dalam pengkajian tasawuf. Pro kontra faham ittihad harus dilihat dari
sudut ini.
Pengalaman mistik tertinggi memang menghasilkan situasi kejiwaan
yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum sufi’, ekstase itu sering
dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran (al-Haqq) yang memabukkan.
Bahkan untuk mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang
mereka namakan dlamir al-sya’n,
yaitu kata “an” yang berarti “bahwa”
dalam kalimat sahadat pertama asyhadu al
lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensinya
mereka menghayati tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia
yang Maha Ada.
DAFTAR PUSTAKA
Arberry, A. J., Sufism An Account of the Mystics of Islam, Unwin Paperbacks,
London, 1979.
Arjun, Muhammad al-Sadiq, Al-Tasawwuf fi al-Islam Manabi’uhu wa Atwaruhu,
Maktabah al-Kulliyah
al-Athariyah, Cairo, 1967.
Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1984.
Al-Attar, Fariduddin, Muslim Saints and Mystics, terjemahan A. J.
Arberry,
Reutledge & Regan
Paul, London, 1979.
Basyuni, Ibrahim, Nasy’atu al-Tasawwuf al-Islamy, Dar al-Ma’arif, Cairo,
t.t.
Fattah, Irfan Abdul Hamid, Nasy’atu al-Falsafah al-Sufiyah wa Tatawwuruhu, al-
Maktab al-Islamy,
Bairut, 1973.
Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya,
Pustaka Panjimas, Jakarta,
1993
Hassan, Abd al-Hakim, Al-Tasawwuf fi al-Syi’ri al-‘Arabi, Maktabah al-Anjalu al-
Misriyah, Mesir, 1954.
James, William, The Varietiės of Religion Experience, diterjemahkan oleh,
Gunawan Admiranto, Perjumpaan dengan Tuhan, Mizan, Bandung, 2004.
Madkur, Ibrahim, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiquhu, I, Dar al-
Ma’arif, Cairo, 1976.
-------------, al-Mu’jam al-Falsafy, al-Hai’ah al-‘Ammah li
Syu’ub al-Matabi’ al-
Amiriyah, Cairo, 1979.
Mahmud, Abdul Qadir, Al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Dar al-Fikri al-Araby,
Cairo, t.t.
Nasution, Harun, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1973.
Nicholson, R. A., Studies in Islamic Mysticism, Cambridge University
Press,
London, 1973.
-------------, The Mystics of Islam, Routledge and Kegan Paul, London, 1975.
Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kutub al-‘Arabiyah al-Kubra, Cairo,
t.t.
Rizvi, Saiyid Athar Abbas, A History of Sufisme in India, Munashiram Manoharlal,
New Delhi, 1978.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1997.
Team Penyusun Naskah, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Binperta IAIN Sumatera Utara, Medan, 1981/1982.