Jumat, 09 Desember 2011


GOYANG

            Para penonton, Bapak-bapak, Ibu-ibu semuanya. Jangan heran, kalau Inul sedang goyang. Rada panas, agak seksi. Maafkanlah ...

            Itulah syair lagu yang ditembangkan oleh Inul Daratista untuk mengambil hati para penonton, dalam hal ini tentunya yang berhubungan dengan “goyang ngebornya”.  Ungkapan tersebut sepertinya memang dijadikan alat untuk minta izin atau bahkan memaksa khalayak agar menerima “goyang” tersebut sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa. 
Dan sepertinya goyangan yang seksi memang sering dijadikan seseorang (artis penyanyi) sebagai alat untuk mencapai populeritas. Anehnya, masyarakat memang menyukai yang demikian.  Terbukti dari ramainya pengunjung apabila diadakan pertunjukan-pertunjukan, show-show atau panggung yang mengadakan acara goyang seksi dengan lagu remix-nya. Goyangan pantat sang penyanyi seksi menjadi syarat untuk dipakai atau tidaknya sebuah alat musik yang nota bene mencari nafkah dari panggung ke panggung.
            Dari sini kemudian lahirlah penyanyi-penyanyi yang tidak pandai bernyanyi atau penari-penari yang tidak pandai menari, ia hanya lihay bergoyang dengan memamerkan aurat, dengan busana yang nyaris telanjang memancing mata para lelaki agar melotot menatap keindahan tubuhnya.
            Itulah problema seni di Indonesia.  Persoalan yang hadir, ditengah-tengah marakya trend goyangan seksi muncullah larangan “situs porno” oleh Presiden SBY setelah gagalnya Undang-undang Anti Pornografi disyahkan.  Kemudian muncul Dewi Persik yang menganggap biasa “goyang gergaji-nya” dan berita tentang pencekalan dirinya di Tangerang, Jawa Barat. Lalu komentar Anisa Bahar “goyang patah-patah”  yang menganggap masyarakat terlalu berlebih-lebihan dalam mengomentari masalah goyangan seksi para artis penyanyi.
            Kondisi seperti ini tidak akan berakhir.  Satu sisi, seseorang berbuat,  lalu di sisi lain undang-undang dikeluarkan untuk membatasi perbuatan seseorang tersebut, sedangkan masyarakat tidak tahu apa-apa, hanya berlaku sebagai penonton yang tidak pernah tahu bagaimana jalan ceritanya, yang mereka tahu hanyalah berita kemudian, “menghebohkan atau meresahkan?”  Begitulah seterusnya, sehingga semuanya seperti sia-sia belaka. 
Padahal, sisi yang paling banyak menerima akibat adalah masyarakat. Masyarakat adalah korban.  Termasuk adanya budaya goyangan seksi ini pun sesungguhnya adalah korban.  Sebab ada yang melakukan perbuatan tersebut disebabkan karena desakan kebutuhan ekonomi disamping ada yang menganut pendapat “superman” (makin super hebat, makin aneh, sehingga celana dalam pun dipakai di luar kostum),  sehingga kebanyakan orang berpendapat bahwa segala cara pun boleh dipakai, supaya tenar dan dapat menghasilkan uang.  Dan sekali lagi, masyarakat justru menerima itu, kemudian menerimanya dan menganggapnya lumrah dan wajar.
Ada segelintir masyarakat yang menolak.  Namun tidak mampu berbuat banyak dengan keterbatasannya juga. Bahkan mungkin dengan persoalan yang sama (alasan ekonomi) seseorang yang tahu bagaimana semestinya berbuat dan memiliki wewenang untuk membatasi masalah tersebut, malah justru diam dan tidak ambil peduli.
Masyarakat memiliki kebebasan menilai, dan mayoritas masyarakat terutama di pedesaan mencela serta menganggap hina pekerjaan “penyanyi”.   Dan akan sangat tidak suka apabila ada anggota keluarganya yang berprofesi sebagai penyanyi.  Alasannya dengan profesi tersebut, terutama wanita, akan cenderung hidup bebas, kalau ia sudah berkeluarga akan mudah kawin-cerai dan sebagainya.