GOYANG
Para penonton, Bapak-bapak, Ibu-ibu semuanya. Jangan heran, kalau Inul
sedang goyang. Rada panas, agak seksi. Maafkanlah ...
Itulah syair lagu yang
ditembangkan oleh Inul Daratista untuk mengambil hati para penonton, dalam hal
ini tentunya yang berhubungan dengan “goyang ngebornya”. Ungkapan tersebut sepertinya memang dijadikan
alat untuk minta izin atau bahkan memaksa khalayak agar menerima “goyang”
tersebut sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa.
Dan sepertinya goyangan
yang seksi memang sering dijadikan seseorang
(artis penyanyi) sebagai alat untuk mencapai populeritas. Anehnya, masyarakat
memang menyukai yang demikian. Terbukti
dari ramainya pengunjung apabila diadakan pertunjukan-pertunjukan, show-show
atau panggung yang mengadakan acara goyang seksi dengan lagu remix-nya.
Goyangan pantat sang penyanyi seksi menjadi syarat untuk dipakai atau tidaknya
sebuah alat musik yang nota bene mencari nafkah dari panggung ke panggung.
Dari sini kemudian
lahirlah penyanyi-penyanyi yang tidak pandai bernyanyi atau penari-penari yang
tidak pandai menari, ia hanya lihay
bergoyang dengan memamerkan aurat, dengan busana yang nyaris telanjang memancing
mata para lelaki agar melotot menatap keindahan tubuhnya.
Itulah problema seni di
Indonesia. Persoalan yang hadir,
ditengah-tengah marakya trend goyangan seksi muncullah larangan “situs porno”
oleh Presiden SBY setelah gagalnya Undang-undang Anti Pornografi
disyahkan. Kemudian muncul Dewi Persik
yang menganggap biasa “goyang gergaji-nya” dan berita tentang pencekalan
dirinya di Tangerang, Jawa Barat. Lalu komentar Anisa Bahar “goyang
patah-patah” yang menganggap masyarakat
terlalu berlebih-lebihan dalam mengomentari masalah goyangan seksi para artis
penyanyi.
Kondisi seperti ini tidak
akan berakhir. Satu sisi, seseorang berbuat, lalu di sisi lain undang-undang dikeluarkan
untuk membatasi perbuatan seseorang tersebut, sedangkan masyarakat
tidak tahu apa-apa, hanya berlaku sebagai penonton yang tidak pernah tahu
bagaimana jalan ceritanya, yang mereka tahu hanyalah berita kemudian, “menghebohkan atau meresahkan?” Begitulah
seterusnya, sehingga semuanya seperti sia-sia belaka.
Padahal, sisi yang paling banyak menerima akibat
adalah masyarakat. Masyarakat adalah korban.
Termasuk adanya budaya goyangan
seksi ini pun sesungguhnya adalah korban.
Sebab ada yang melakukan perbuatan tersebut disebabkan karena desakan
kebutuhan ekonomi disamping ada yang menganut pendapat “superman” (makin super
hebat, makin aneh, sehingga celana dalam pun dipakai di luar kostum), sehingga kebanyakan orang berpendapat bahwa
segala cara pun boleh dipakai, supaya tenar
dan dapat menghasilkan uang. Dan sekali
lagi, masyarakat justru menerima itu, kemudian menerimanya dan menganggapnya
lumrah dan wajar.
Ada segelintir masyarakat yang menolak. Namun tidak mampu berbuat banyak dengan
keterbatasannya juga. Bahkan mungkin dengan persoalan yang sama (alasan ekonomi) seseorang yang tahu
bagaimana semestinya berbuat dan memiliki wewenang untuk membatasi masalah
tersebut, malah justru diam dan tidak ambil peduli.
Masyarakat memiliki kebebasan menilai, dan
mayoritas masyarakat terutama di pedesaan mencela serta menganggap hina
pekerjaan “penyanyi”. Dan akan sangat
tidak suka apabila ada anggota keluarganya yang berprofesi sebagai
penyanyi. Alasannya dengan profesi
tersebut, terutama wanita, akan cenderung hidup bebas, kalau ia sudah
berkeluarga akan mudah kawin-cerai dan sebagainya.